Minggu, 13 Januari 2013

Nature Tourism


If you are interested in the nature Tourism,so that West Sumatra (Indonesia) must be one of the agenda of your destination. So many interesting natural attractions to visit, both in terms of its beauty, its formation history, or because of the legend attached to the attraction. You must have heard the legend that cursed Malin Kundang into stone. Until now we are still using the Malin Kundang as an example of the prodigal son. But have you ever seen a stone such Malin Kundang? In fact according to legend, the story does not stop Malin Kundang just after he finished stone. Why?  Because he brings a treasure ship that much, His wife of Chinese descent was gorgeous. Anyone who says that property of Malin Kundang is realy existing. Curious? why not visit just right there?



Malin Kundang Stone in Gunung Padang Beach West Sumatera








Other natural attractions that you should visit is Lake of Singkarak and  Lake of Maninjau. The lakes was formed due to tectonic events millions of years ago. Exotic place, and there really fun trip. You can also enjoy typical treats this lake, Pangek Bilih and Palai Rinuak, that is a kind of fish processed foods






One more thing you should not miss, Canyon Sianok. A valley formed by natural events thousands and even millions of years ago which caused the earth collapsed as high as tens of meters in length and width of a truly terrible. Imagine if you were already born when the canyon was formed and earth disappear, I suggest to you to not continue to imagine.






If you are interested, I have friends who can take you around West Sumatera.
Your Contact Person is : Travel Parindo
Phone +62 0752-628771.
Muhammad Nakri or Budi Syafitri.

Enjoy your holiday.

Manajemen Perubahan


Implementasi Manajemen Perubahan Pada Industri Tekstil Majalaya
Dalam Era Globalisasi
Oleh : Nur Efendi

A. Pendahuluan
Majalaya bukanlah nama yang asing bagi masyarakat Jawa Barat. Majalaya adalah suatu wilayah yang memiliki potensi industri tekstil yang cukup besar. Bahkan bisa dikatakan bahwa sejarah lahirnya industri tekstil di Indonesia diawali dari Majalaya. Sejarah pertekstilan Indonesia dimulai dari industri rumahan sejak tahun 1929 yang dimulai dari pertenunan dan perajutan dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama alat tenun bukan mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daelenoord pada tahun 1926 dengan dengan produknya yang berupa tekstil tradisional seperti sarung, stagen, kain panjang, lurik, dan selendang. Penggunaan ATMB mulai bergeser ke alat tenun mesin yang digunakan pertamakalinya pada tahun 1939 di Majalaya Jawa Barat. Sejak itu, industri tekstile Indonesia mulai menggunakan mesin dalam proses produksinya (http://poloshirtpolos.com/artikel-konveksi-garment/sejarah-industri-tekstil-indonesia).
Perkembangan industri tekstil Majalaya cukup menggembirakan sampai terjadinya krisis moneter tahun 1997-1998. Pada masa itu, industri tekstil yang lebih banyak dijalankan dengan manajemen kekeluargaan mampu menghasilkan produk tekstil yang berkualitas dan bersaing dipasar domestic maupun pasar ekspor. Disamping itu, industri tekstil ini juga menjadi tulang punggung daerah dalam pemberantasan pengangguran karena masih bersifat padat karya dan mampu menyerap banyak tenaga kerja. Masa kejayaan industri tekstil Majalaya salah satunya juga disebabkan oleh kebijakan safeguard yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto, sehingga industri dalam negeri terproteksi dari persaingan produk impor yang mulai banyak masuk ke Indonesia.
Namun sejak terjadinya krisis dan ditambah lagi dengan pemberlakuan penghapusan kuota TPT pada tahun 2005, industri tekstil Majalaya mulai mengalami guncangan. Guncangan ini tidak hanya dialami oleh industri tekstil yang ada di Majalaya tetapi juga oleh industri tekstil yang ada di Jawa Barat pada umumnya. Yulia Sari (2007), salah satu staf peneliti pada Yayasan AKATIGA dalam sebuah artikelnya mengatakan bahwa tercatat 467 industri TPT gulung tikar dalam lima tahun terakhir ini, sebagian besar di antaranya adalah industri TPT dengan kategori industri menengah besar yang memiliki tenaga kerja bervariasi antara 3.000-4.000 orang. Sebagian besar industri yang tutup itu berlokasi di Jawa Barat (227 pabrik). Meskipun tidak terlalu drastis, Dinas Perindustrian Jawa Barat juga mencatat bahwa telah terjadi penurunan jumlah perusahaan yang bergerak dalam industri TPT dari 3.025 pada tahun 2005 menjadi 2.075 pada 2011 (sumber, Dinas Perindustrian Jawa barat dan API Jawa Barat). Fenomena mengejutkan juga ditemukan dalam laporan akhir para peneliti dari Yayasan AKATIGA Bandung dan FES yang menyatakan bahwa pada tahun 2007 atau 3 (tiga) tahun setelah dihapuskannya kuota TPT, telah terjadi pergeseran dalam industri TPT, yaitu dari industri tekstil menjadi industri garmen (AKATIGA-FES, 2007). Sementara itu, bisnis-jabar.com pada tanggal 23 Juni 2011 menurunkan berita yang isinya “ … naiknya bahan baku utama benang US$1.200 per bal pada Februari 2011 dan gencarnya produk tekstil asal China masuk ke Indonesia membuat sejumlah pabrik industri tekstil di Kab. Bandung terpaksa merumahkan sejumlah pekerja karena tidak mampu menutupi biaya operasional serta persaingan harga jual sehingga terancam gulung tikar.
Fenomena pemunduran yang dialami oleh industri tekstil Majalaya merupakan salah satu dampak dari globalisasi yang melanda Indonesia. Liberalisasi ekonomi dan perdagangan internasional yang mulai diberlakukan memaksa Indonesia untuk ikut berpartisipasi dengan melakukan berbagai regulasi yang pada intinya adalah mempermudah masuknya arus barang, jasa, dan investasi, serta mengurangi berbagai hambatan bea masuk dan tariff terhadap barang-barang impor. Regulasi ekonomi dan perdagangan yang dilakukan ternyata tidak diikuti oleh suatu mekanisme pengawasan yang berdampak pada banjirnya produk tekstil impor di pasar domestic baik secara legal maupun illegal. Dengan harga yang relative lebih murah, produk tekstil impor ternyata lebih diminati oleh konsumen domestic sehingga produk tekstil local kehilangan pangsa pasar dan akhirnya mengalami kebangkrutan.
Berdasarkan uraian di atas, adalah sangat menarik untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam tentang implementasi manajemen perubahan yang dilakukan oleh industri tekstil Majalaya yang ada saat ini. Berbagai penyesuaian dalam manajemen dan proses produksi ternyata mampu membuat industri tekstil Majalaya tetap bertahan di tengah hantaman badai produk tekstil impor.

B. Pembahasan
Globalisasi adalah suatu proses dimana ekonomi dunia menjadi semakin terintegrasi, yang mengarah ke ekonomi global dan, meningkatnya kebijakan ekonomi global, misalnya, melalui badan-badan internasional seperti WTO. Globalisasi juga merujuk pada munculnya"budaya global."…Namun dalam makna ekonomi, globalisasi mengacu pada peningkatan keterbukaan ekonomi dengan perdagangan internasional, arus keuangan, dan investasi asing secara langsung (Tadaro dan Smith (2006 : 578). Sementara Steiner & Steiner (2007 : 371) mengatakan bahwa globalisasi terjadi ketika jaringan ekonomi, politik, sosial, militer, ilmu pengetahuan, dan lingkungan tumbuh dengan saling ketergantungan dan melintasi batas-batas negara. Dengan demikian, globalisasi tidak hanya tumbuh dalam satu aspek, tetapi berbagai aspek. Globalisasi ekonomi mengacu pada pengembangan sistem komersial yang semakin terintegrasi berdasarkan pasar bebas di mana setiap negara terbuka untuk perdagangan luar negeri dan investasi asing (Steiner & Steiner, 2007 : 271).
Dalam kacamata ekonomi, keterbukaan perdagangan internasional, arus keuangan, dan investasi asing secara langsung membawa dampak positif dan negatif terhadap perekonomian nasional. Jeffrey A, Frieden, dan Stanfield dan Harvard University menulis bahwa “ekonomi internasioanl telah membuat banyak negara berkembang berhasil menurunkan kemiskinan, meningkatkan kondisi sosial, memperpanjang masa hidup, dan melakukan reformasi sosial dan politik (dalam Steiner & Steiner, 2007 : 372). Artinya, globalisasi yang melanda dunia saat ini telah memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat dan pemerintah suatu negara. Namun harus diingat bahwa globalisasi juga membawa dampak yang negatif. Globalisasi telah memperlebar jurang pendapatan antara negara kaya dan negara miskin.
Negara-negara berkembang menjadi kehilangan kedaulatannya dan kehilangan kendali atas urusan ekonomi mereka (dalam Steiner & Steiner, 2007 : 375). Pada tingkat organisasi bisnis, globalisasi secara langsung mempengaruhi proses dan kelembagaan bisnis yang telah ada sebelumnya. Derasnya arus barang dan jasa yang masuk ke Indonesia memaksa industri dalam negeri melakukan pengkajian ulang tentang proses bisnis yang mereka jalankan. Efisiensi dalam berproduksi semakin ditekankan untuk bisa menekan biaya produksi sehingga harga produk yang ditawarkan dapat bersaing secara sehat dengan produk luar negeri yang ternyata lebih murah. Kelembagaan bisnis yang selama ini ditandai oleh tingginya biaya transaksi mulai dibenahi. Organisasi harus berubah, beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis yang terjadi. Ketidakmampuan manajemen untuk mengelola perubahan ini berdampak pada kapabilitas perusahaan dalam persaingan. Fakta menunjukkan bahwa organisasi yang tidak berubah akan kehilangan kemampuan untuk survive. Dan fakta juga menunjukkan bahwa organisasi yang survive dalam jangka panjang adalah organisasi yang efektif, yaitu organisasi yang selalu belajar.
Industri tekstil Majalaya sebagai kelompok perusahaan yang menghasilkan produk tekstil juga mengalami dampak dari globalisasi ekonomi. Kejayaan industri tekstil Majalaya mulai memudar seiring dengan maraknya produk tekstil impor di pasar-pasar domestic, terutama produk tekstil asal China. Asosiasi Pertekstilan Indonesia memperkirakan bahwa 55% pasar tekstil domestic dikuasai oleh China (bisnis-jabar.com edisi Selasa 31 Mei 2011). Beralihnya minat konsumen ke produk impor bukan hanya karena harga yang lebih murah, tetapi juga karena motif yang lebih bervariasi dan menarik. Apalagi perilaku konsumerisme yang dimiliki oleh banyak masyarakat Indonesia, yang begitu mengagungkan produk impor dan sekaligus menjadikannya indicator dari status social ekonomi, telah menjadikan industri tekstil Majalaya semakin terpuruk. Perusahaan tekstil yang secara financial lemah akan langsung gulung tikar. Sedangkan perusahaan tekstil lainnya, yang lebih kuat secara financial, harus bertahan dengan susah payah agar bisa tetap berproduksi.
Perubahan yang dialami oleh industri tekstil Majalaya yang ada saat ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai perubahan yang dipaksakan. Banyak aspek yang membuat industri tekstil Majalaya belum siap bersaing secara bebas dengan industri tekstil lainnya, apalagi yang diimpor. Mulai dari teknologi mesin produksi yang sudah tua, kemampuan financial, tenaga kerja, hingga ketersediaan energy listrik yang masih terbatas. Seperti dikatakan oleh seorang pengusaha, persaingan yang dihadapi oleh industri tekstil Majalaya ibaratkan bertanding dengan lawan yang berbeda kelas, dan mereka harus menjalaninya. Untuk menghadapi persaingan yang semakin berat, industri tekstil Majalaya mulai melakukan berbagai perubahan yang lebih mengarah pada proses adaptasi daripada perubahan yang direncanakan.
Implementasi manajemen perubahan pada industri tekstil Majalaya dapat dikaji dalam dua aspek, yaitu aspek hard part dan soft part. Menurut teori E, perubahan dalam hard part meliputi
1. Short-term economic improvement
2. Focusing on structure, system, cost
Sedangkan perubahan dalam soft part (teori O) meliputi :
1. Long-term organizational capabilities
2. Focusing on people and cultural change
Masalah hard part change yang dialami oleh industri tekstil Majalaya tidak dapat dipisahkan secara tegas. Masing-masing bagian terkait dan terintegrasi dengan permasalahan lainnya. Oleh sebab itu,pembahasan dalam konteks hard part change sesuai dengan teori E akan dilakukan secara simultan.
Industri tekstil Majalaya secara teknis dan struktur terdiri atas 3 (tiga) sector industri yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir, yaitu :
  1. Sektor industri hulu (Upstream) adalah industri yang memproduksi serat/fiber dan proses pemintalan menjadi produk benang. Industri ini bersifat pada modal, serba otomatis dan berskala besar, dengan tenaga kerja yang relative sedikit namun dengan output yang besar.
  2. Sektor industri menengah (Midstream) meliputi proses penganyaman benang menjadi kain lembaran melalui proses penenunan dan perajutan dan kemudian diolah lebih lanjut melalui proses pencelupan, penyempurnaan dan pencapan menjadi kain jadi. Sifat industrinya semi padat modal, dengan mesin yang semi modern dan tenaga kerja yang lebih banyak.
  3. Sektor industri hilir (Downstream) adalah industri manufaktur pakaian jadi (garmen) termasuk proses cutting, sewing, washing, dan finishing yang menghasilkan ready- made garment. Sifat industrinya padat karya sehingga paling banyak menyerap tenaga kerja.

Permasalahan dalam struktur industri ini semakin kompleks karena tidak hanya berkaitan dengan industri tekstil itu sendiri tetapi juga dengan pihak pemerintah sebagai otoritas dalam kebijakan makro ekonomi. Hal yang cukup menarik yang terjadi dalam industri tekstil Majalaya khususnya dan Jawa Barat pada umumnya, disampaikan dalam survey yang dilakukan oleh Yayasan Akatiga dan FES pada tahun 2007 atau 3 tahun sejak dihapuskannya kuota untuk perdagangan produk TPT, yaitu :
  1. Terjadinya pergeseran dari industri tekstil ke industri garmen.
  2. Rendahnya pertumbuhan industri dan rentannya daya saing dalam perdagangan internasional kecil kaitannya dengan ATC tetapi lebih disebabkan oleh persoalan pada sisi pasokan dometik.
  3. Di kalangan pengusaha TPT perubahan yang paling nyata dalam industri terutama disebabkan oleh invasi produk-produk China di pasar local, baik legal maupun illegal. Kesulitan utama yang dihadapi pengusaha TPT adalah penyelundupan produk garmen China yang masuk ke pasar local dengan harga yangs sangat murah sehingga produk local tak mampu bersaing. Akibatnya, perusahaan yang berproduksi untuk pasar local tidak mampu bertahan dan bangkrut. Perusahaan-perusahaan yang masih bertahan beralih dari memproduksi garmen menjadi pedagang garmen China dengan merek local.
  4. Tak terbendungnya produk China telah menyebabkan meningkatnya total angka ekspor karena praktek transshipment yakni ketika produk impor masuk ke Indonesia untuk kemudian di ekspor kembali sebagai produk Indonesia. Praktek transshipment meluas sejak tahun 2005 dengan diberlakukannya kuota untuk produk China ke pasar AS dan Uni Eropa. Respon China terhadap kebijakan tersebut adalah mengirim produknya ke Negara-negara eksportir yang bebas kuota, salah satunya dalah Indonesia. Tak ada perhitungan yang tepat untuk nilai impor barang China karena sebagian besar illegal. Perkiraan kasar, 50% produk yang masuk ke Indonesia dari China adalah illegal (Jakarta Post 2006). Data API memperlihatkan bahwa untuk garmen Indonesia dikuasai impor illegal hingga 50% dari total pasar. Produk domestic 45% dan 5% sisanya adalah impor legal (Majalah API 2007).
  5. Invasi produk China juga menyumbang pada penutupan pabrik TPT di Indonesia. API mencatat bahwa lebih dari 400 perusahaan di Jawa Barat tutup dan data resmi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bandung memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2003-2006 hampir 20 ribu orang kehilangan pekerjaan karena pabrik tutup atau karena efisiensi. Meskipun demikian faktor China bukanlah penyebab utama bangkrutnya pabrik. Sejak tahun 2001 iklim usaha di Indonesia secara umum ditandai oleh meningkatnya biaya produksi karena kenaikan harga bahan bakar minyak yang menurunkan daya beli masyarakat, meningkatnya tarif listrik, kenaikan upah minimum tahunan dan naiknya harga bahan baku yang diimpor. Naiknya biaya produksi menurunkan daya saing produk local karena tidak mampu menyesuaikan dengan harga pasar.
  6. Usia perusahaan mencerminkan juga soal ketertinggalan teknologi mesin tekstil yang menjadi salah satu masalah mendasar industri ini, sebagaimana informasi yang diperoleh dari wawancara dengan pengusaha dan pengurus serikat. Mesin tekstil yang digunakan ada yang berusia 30 tahun dan yang terbaru adalah mesin tahun 90-an. Pembaruan mesin jarang dilakukan oleh pengusaha karena alasan kesulitan memperoleh kredit. Informasi ini konsisten dengan analisis makro yang menyebutkan bahwa persoalan mendasar industri adalah rendahnya belanja barang modal yang pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas dan kemampuan bersaing di tengah pasar yang makin ketat kompetisinya.
  7. Ketertinggalan teknologi dan mesin berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan untuk mengantisipasi pasar yang pola permintaannya berubah dengan cepat. Mesin-mesin tekstil tua tidak bisa mengulangi order dalam jumlah kecil karena hanya cocok dan ekonomis untuk pesanan dalam partai besar (baju yang produksinya ribuan).
  8. Dalam hal material impor, ditemukan bahwa kandungan impor berkisar dari 5 hingga 100 persen, rata-rata 34 persen.

Ada beberapa poin menarik yang berkaitan dengan permasalahan hard part dalam industri tekstil Majalaya sebagaimana disampaikan dalam survey di atas, yaitu :
a. Pergeseran dari industri tekstil ke industri garmen.
Permasalahan yang dihadapi oleh industri tekstil sangat berkaitan dengan pasokan bahan baku dan pemasaran produk tekstil. Dalam hal pemasaran produk tekstil, baik dalam bentuk benang maupun kain, industri tekstil sangat bergantung pada industri tekstil yang menghasilkan kain atau garmen sebagai pasar utama. Lingkaran pemasaran produk tekstil ini selama ini didasarkan pada kepercayaan sesame pengusaha. Namun setelah masuknya produk tekstil China dengan harga yang lebih murah, beberapa perusahaan yang selama ini mengandalkan bahan baku dari industri tekstil local, mulai beralih menggunakan produk impor. Akibatnya, beberapa perusahaan tekstil kehilangan pasar dan terpaksa melakukan restrukturisasi usahanya dengan beralih menggunakan produk China. Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa industri tekstil yang semula menghasilkan benang dan kain, mulai menjual mesin-mesin tenun mereka yang sudah tua dan beralih menjadi industri garmen dengan memasok bahan baku dari produk impor. Sementara itu, industri garmen yang tidak mampu bersaing, banting stir dengan menjadi pedagang garmen dan menjual produk china. Perubahan struktur industri ini merupakan salah satu bentuk upaya untuk memperbaiki kemampuan ekonomi perusahaan dalam jangka pendek. Ini merupakan keputusan rasional yang diambil manajemen untuk menyelamatkan perusahaan. Besarnya tekanan lingkungan eksternal yang meliputi pasar, teknologi dan sumberdaya (Ron-Zemke, dalam Gibson,dkk, 2006 : 488) mengharuskan manajemen untuk mengambil langkah ini. Dan langkah ini semakin rasional karena mengandung nilai-nilai moral yang etis, yaitu keinginan untuk menyelamatkan ribuan tenaga kerja yang selama ini telah dimiliki. Hal ini tentunya bukan tanpa hambatan, karena harus melatih tenaga kerja yang selama ini menghasilkan tekstil menjadi seorang pekerja garmen.

b. Masalah pasokan bahan baku.
Pasokan bahan baku bagi industri tekstil Majalaya merupakan masalah klasik yang tidak pernah ada solusinya. Padahal untuk bisa beroperasi perusahaan harus mengimpor komponen bahan baku ini dari berbagai Negara, terutama China. Besarnya komponen impor dalam industri tekstil Majalaya bahkan bisa mencapai 60%. Hal ini tentunya bukanlah perkara yang mudah untuk diselesaikan. Panjangnya rantai pasokan bahan baku untuk industri tekstil ini, ternyata tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai. Kondisi jalan yang rusak dan jarak yang cukup jauh dari pelabuhan, merupakan sub komponen biaya yang menyebabkan industri tekstil harus mengeluarkan biaya produksi yang besar untuk itu. Belum lagi berbagai pungutan resmi dan tidak resmi yang mengikuti setiap kilometer perjalanan transportasi dari pelabuhan ke pabrik, semakin menguatkan fakta bahwa industri tekstil tidak dapat beroperasi tanpa ekonomi biaya tinggi. Disisi lain pemerintah juga mengakui bahwa masih banyak masalah yang harus diselesaikan berkaitan dengan upaya memperkuat daya saing industri nasional. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, dalam lampiran halaman 5 menyatakan bahwa beberapa masalah mendasar yang harus segera diselesaikan adalah :
  1. Makro: antara lain lemahnya prasarana dan sarana; ekonomi biaya tinggi; kesenjangan pembangunan daerah; masih lemahnya penguasaan teknologi.
  2. Mikro: belum kuatnya peran Industri Kecil dan Menengah; penurunan kinerja di beberapa cabang Industri terutama cabang industri kayu dan produk kayu, serta tekstil dan produk tekstil; dan keterbatasan industri berteknologi tinggi.
  3. Industri: masih terbatasnya pasokan bahan baku dan energi; tingginya impor bahan baku dan penolong, walaupun sejak krisis telah mencapai banyak kemajuan dalam penggunaan bahan baku dan penolong lokal; keterbatasan produksi barang setengah jadi dan komponen; terbatasnya penerapan standarisasi; masih belum optimalnya kapasitas produksi; masihterbatasnya penguasaan pasar domestik; ketergantungan ekspor hanya pada beberapa komoditi dan beberapa negara tujuan; tingginya penyelundupan; terbatasnya pengembangan merek lokal.

Namun dari sekian banyak solusi yang diberikan pemerintah berkaitan dengan permasalahan bahan baku untuk industri tekstil ini, belum ada yang sampai menyentuh akar permasalahan, yaitu, industri tekstil membutuhkan kapas sebagai bahan baku, dan Indonesia bukanlah Negara penghasil kapas. Lalu, sampai kapan industri tekstil akan dibiarkan bergantung impor kapas?

c. Besarnya tekanan produk pesaing dari China.
Banyaknya produk Tekstil yang masuk ke pasar domestic baik secara legal maupun illegal telah menyebabkan rendahnya daya saing produk domestic terhadap produk-produk asing, terutama terhadap produk China. Pihak API menyatakan bahwa rendahnya daya saing produk Tesktil disebabkan oleh tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Beberapa komponen yang berperan dalam tingginya biaya produksi ini adalah biaya bahan baku yang terutama kapas yang 99% harus diimpor, sumberdaya energy yang mahal dan terbatas, upah tenaga kerja, biaya ekspor dan impor, serta suku bunga pinjaman yang cukup tinggi. Selain itu, rendahnya daya saing ini juga disebabkan oleh biaya transaksi yang harus dikeluarkan perusahaan yang mencapai 30% dari biaya produksi (Sumber : API Jawa Barat, Pebruari 2012). Akibatnya banyak perusahaan yang tidak mampu bersaing dan harus ditutup. Sementara itu terdapat sekitar 30 perusahaan yang melakukan relokasi usaha ke Jawa Tengah atau melakukan restrukturisasi dalam industri Tekstil dengan beralih dari industri manufaktur tekstil menjadi industri garmen dan dari manufaktur garmen menjadi trading garmen (sumber: API April 2012).
Tingginya arus produk Tekstil yang membanjiri pasar domestic tidak diantisipasi dengan suatu regulasi yang bisa menahan laju masuknya produk asing terutama secara illegal. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat Usman, menyatakan penyelundupan produk impor tekstil dan produk tekstil ilegal dari China masih marak terjadi meski sudah ada perjanjian pasar bebas antara Indonesia dan China. Hal itu terlihat dari perbedaan data nilai perdagangan kedua negara sekitar US$ 500 juta selama kurun waktu tujuh bulan pertama tahun ini. Pemerintahan China mencatat nilai perdagangan tekstil kedua negara sepanjang Januari-Juli 2011 mencapai US$ 1,7 miliar, atau lebih tinggi ketimbang data versi Pemerintah Indonesia sebesar US$ 1,2 miliar. " Artinya ada potensi penyelundupan sebesar nilai tersebut," kata Ade, Kamis, 3 November 2011 (bisnis-jabar.com).

d. Tekanan dari pemerintah dan serikat pekerja
Dalam lingkungan bisnis yang semakin terintegrasi, industri tekstil Majalaya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh regulasi yang dikeluarkan pemerintah dan tuntutan serikat pekerja. Apa yang terjadi di industri tekstil Majalaya merupakan suatu contoh betapa tidak berdayanya perusahaan ketika harus berhadapan dengan pemerintah. Berbagai aturan yang dikeluarkan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah pada akhirnya berujung pada tambahan “cost” yang harus dibayar oleh perusahaan. Cara kerja birokrasi yang demikian sistematisnya, mengharuskan pengusaha untuk mengeluarkan sejumlah dana untuk berbagai keperluan.
Disisi lain, pemerintah juga melakukan tekanan kepada pihak industri untuk membayarkan upah tenaga kerja sesuai dengan upah minimum regional atau upah minimum kota/kabupaten. Secara ekonomis, tuntutan kenaikan upah yang dilakukan oleh serikat pekerja dan disponsori oleh anggota dewan perwakiran rakyat daerah maupun pemerintah, tidak memberikan nilai tambah terhadap peningkatan produkstifitas tenaga kerja. Dan hampir semuanya tahu bahwa industri tekstil Majalaya sebagian besar merupakan industri skala menengah yang padat karya. Bisa dihitung berapa tambahan biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan karena kebijakan upah yang dikeluarkan pemerintah, dan bandingkan dengan tambahan produktifitas tenaga kerja. Teori ekonomi manapun akan menolak kebijakan pemerintah yang seperti ini.

e. Teknologi permesinan yang sudah ketinggalan.
Sebagian besar perusahaan yang bergerak dalam industri tekstil di Majalaya masih menggunakan teknologi mesin yang lama, yang usianya sudah mencapai 20 – 30 tahun. Masalah ini menjadi hambatan utama bagi perusahaan untuk bisa berproduksi secara efektif dan efisien karena mesin yang digunakan sudah tidak bisa lagi memenuhi tuntutan trend pertesktilan yang ada sekarang. Disamping itu, tingginya harga mesin-mesin tekstil yang baru menyebabkan sebagian besar pengusaha tetap menggunakan mesin yang sudah tua seoptimal mungkin. Akibatnya produksi tekstil yang dihasilkan tidak mengalami kemajuan dari waktu ke waktu dan kapasitas produksinya juga mulai menurun.
Masalah ini kemudian dibantu di atasi oleh pemerintah dengan keluarnya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 Tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Serta Industri Alas Kaki, yang diperbarui dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15/M-IND/PER/2/2012. Dalam Peraturan Menteri Perindustrian ini dikatakan bahwa perusahaan ITPT (Industri Tekstil dan Produk Tekstil) dan IAK (Industri Alas Kaki) yang melakukan restrukturisasi mesin/peralatan dengan investasi baru diberikan keringanan pembiayaan pembelian mesin dan atau peralatan ITPT atau IAK sesuai dengan jenis industrinya (pasal 3 ayat 1). Sedangkan pada pasal 6 ayat 2 dikatakan bahwa bantuan pembiayaan dimaksud adalah berupa potongan harga sebesar 10% dari nilai pembelian mesin/peralatan. Diharapkan dengan adanya program restrukturisasi mesin/peralatan ini perusahaan yang memiliki mesin dan atau peralatan yang sudah tua dapat menggantinya dengan mesin dan atau peralatan yang baru sehingga proses produksi tidak terkendala dan sekaligus dapat meningkatkan daya saing.
Hampir sama dengan hasil survey yang disampaikan sebelumnya, sumber API Jawa Barat, mengatakan ada 4 faktor utama yang menjadi kendala bagi Industri TPT di Jawa Barat umumnya dan Majalaya khususnya, yaitu :
  1. Infrastruktur yang tidak memadai, diantaranya adalah jalur transportasi yang jauh untuk pengangkutan bahan baku yang diimpor dan untuk mengekspor produk. Sedangkan komponen impor untuk produk TPT mencapai 60%. Hal ini menimbulkan biaya yang cukup tinggi ditambah lagi dengan masalah banjir yang tidak pernah terselesaikan.
  2. Tidak adanya dukungan perbankan. Pihak perbankan sulit untuk mencairkan kredit yang diajukan oleh perusahaan yang bergerak dibidang TPT dan ditambah lagi dengan suku bunga yang cukup tinggi yang semakin membebani permodalan perusahaan.
  3. Prilaku birokrasi yang tidak sehat sehingga menimbulkan biaya transaksi yang cukup mahal. Biaya yang harus dikeluarkan pengusaha untuk berbagai pungutan yang resmi dan tidak resmi bisa mencapai 30% dari biaya produksi. Artinya, jika biaya transaksi yang 30% ini bisa dihilangkan dari birokrasi maka perusahaan akan bisa beroperasi secara lebih efisien dan menghasilkan produk yang mampu bersaing dengan produk dari China.
  4. Masalah energi. Selama ini pengusaha merasa belum ada program pemerintah yang jelas berkaitan dengan penyediaan energy bagi industri TPT. Saat ini, biaya untuk penyediaan energy mencapai 20 – 30% dari biaya produksi.

Berkaitan dengan perubahan hard part yang terjadi dalam industri tekstil Majalaya, ada beberapa hal yang telah dilakukan oleh pengusaha tekstil, yaitu :
1. Perbaikan dalam proses produksi
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 dan Nomor 15/M-IND/PER/2/2012, menjadi angin segar bagi kebangkitan industri tekstil Majalaya. Beberapa pengusaha telah mengajukan proposal untuk mendapatkan fasilitas pembelian mesin dan peralatan ini. Namun seperti dikatakan dalam Peraturan Menteri tersebut, fasilitas potongan harga pembelian yang diberikan tersebut adalah bagi pengusaha yang akan membeli mesin baru dari Jepang, bukan mesin “second”. Namun seperti dikatakan oleh salah seorang pengusaha yang juga memanfaatkan fasilitas ini, harga mesin baru dari Jepang berkisar Rp 700-an juta per unit. Jika mengikuti aturan tersebut maka sebagian besar pengusaha tidak akan mampu membelinya sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Apa yang dilakukan oleh pengusaha adalah dengan melakukan negosiasi ulang, agar boleh membeli mesin buatan China dengan spesifikasi hampir sama tetapi dengan harga yang murah. Harga satuan untuk mesin buatan China berkisar Rp 200-an juta. Artinya, jika mereka membeli mesin Jepang, maka mereka hanya akan mendapatkan satu mesin, sedangkan dengan membeli mesin buatan China mereka bisa mendapatkan 4 mesin, dan ini jelas sangat membantu dalam peningkatan produktifitas output perusahaan.
Perbaikan dalam proses produksi tidak hanya dilakukan dengan membeli mesin-mesin baru, tetapi juga dengan dalam penggunaan tenaga kerja manusia. Kasus yang terjadi pada sebuah perusahaan tenun memperlihatkan bagaimana perusahaan menggunakan tenaga kerja manusia secara lebih efisien, yaitu dengan menempat satu orang tenaga kerja untuk mengoperasikan 6 mesin. Perbandingan 1 : 6 ini dilakukan mengingat tingkat keterampilan tenaga kerja bidang yang masih rendah di Majalaya. Pada industri tekstil yang memiliki kualitas tenaga kerja yang lebih baik, perbandingannya bisa mencapai 1 : 20 atau bisa bahkan lebih.
Satu hal menarik yang terdapat dalam industri tekstil Majalaya, adalah bahwa pada perusahaan yang berskala menengah, terutama industri tenun, sebagian besar tenaga kerjanya adalah laki-laki. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terdapat dalam perusahaan besar dimana sebagian besar tenaga kerjanya adalah wanita. Hal ini sengaja dilakukan untuk mengantisipasi mutasi buruh yang sering terjadi dalam industri tekstil. Sebagaimana diketahui, perusahaan besar banyak mempekerjakan wanita dalam mengoperasikan mesin tenun. Dengan keterampilan dan pengalaman yang sudah memadai mereka lebih memilih bekerja di perusahaan besar dengan alasan gaji yang lebih baik. Pengalaman yang dialami oleh industri tenun berskala menengah adalah, mereka seringkali harus kehilangan buruh wanita yang sudah berpengalaman karena mereka pindah ke perusahaan yang lebih besar dengan gaji yang juga lebih besar. Akibatnya, perusahaan asal harus mencari lagi buruh untuk dilatih agar bisa bekerja dengan baik. Hal ini tentunya bisa merusak kelangsungan proses produksi. Karena tidak mau kehilangan buruh yang sudah terampil, manajemen perusahaan berskala menengah mengambil kebijakan untuk tidak mempekerjakan wanita dalam mengoperasikan mesin-mesin mereka.

2. Melakukan efisiensi
Dalam rangka penyelamatan perusahaan, manajemen dalam industri tekstil Majalaya memberlakukan dua criteria dalam pemberian upah, yaitu pertama, sesuai dengan UMR, dan kedua, di bawah UMR. Hal ini dilakukan mengingat kualitas tenaga kerja yang dimiliki oleh industri tekstil Majalaya masih relative rendah. Bagi tenaga kerja yang berpendidikan SMA atau sederajat dengan tingkat keterampilan yang memadai, mereka diberikan upah sesuai dengan standar UMR dan menerima THR setiap lebaran. Namun karena sebagian besar diantaranya adalah tenaga kerja yang tidak terdidik dan dengan tingkat keterampilan yang rendah, maka upah mereka dibayarkan di bawah standar UMR dan setiap lebaran mereka hanya menerima hadiah.
Adanya perbedaan perlakuan ini diakui oleh manajemen sebagai cara untuk melakukan efisiensi. Buruh yang kinerjanya baik diberikan upah sesuai dengan aturan undang-undang perburuhan, sedangkan yang tidak menunjukkan kinerja yang baik akan menerima upah sesuai dengan kebijakan pengupahan perusahaan. Namun demikian, tindakan seperti ini sudah dibicarakan oleh pimpinan perusahaan dengan seluruh tenaga kerja. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resistensi yang dilakukan oleh tenaga kerja berkaitan dengan kebijakan upah yang dilakukan perusahaan. Seperti dikatakan oleh Kotter dan Schiesinger, yang dikutip oleh Gibson, dkk ( 2006 : 485), salah satu metode untuk mengurangi sesistensi terhadap perubahan adalah dengan cara edukasi dan komunikasi.
Disisi lain, efisensi juga dilakukan manajemen perusahaan dengan memangkas struktur kepemimpinan perusahaan. Sebuah perusahaan tekstil yang yang cukup besar malah hanya mempekerjakan satu orang sekretaris untuk membantu pemilik perusahaan. Alasanya adalah bahwa mereka belum memerlukan staf-staf yang secara khusus menangani satu bagian. Mereka menyebutnya Manajemen OMO (Owner Manager Operator). Setelah diperhatikan secara seksama,apa yang dilakukan oleh pemilik perusahaan ini ternyata sangat tepat. Mereka masih bisa mengelola aktifitas perusahaan dari hulu sampai ke hilir tanpa harus melibatkan banyak tenaga kerja.
Dari aspek perubahan softpart, ada banyak hal yang harus dilakukan oleh manajemen perusahaan dalam industri tekstil Majalaya. Upaya memperkuat kapabilitas perusahaan dalam jangka panjang dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan membangun jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, baik internal maupun eksternal perusahaan, membangun reputasi, mengembangkan inovasi dan strategi asset, atau yang disebut Kay sebagai architecture, reputation, innovation, dan strategic assets (1995 : 63). Menurut Kay, adalah sangat penting bagi perusahaan untuk mengembangkan kapabilitas melalui pengembangan jaringan kerjasama dengan pihak internal, seperti karyawan, maupun dengan pihak eksternal, seperti suplayer dan konsumen. Kay mengatakan bahwa ada tiga tipe architecture, yaitu :
1. Antara perusahaan dengan karyawan dan diantara karyawan.
2. Antara perusahaan dengan suplayer atau konsumen
3. Antara perusahaan dengan kelompok asosiasi
Architecture ini pada akhirnya akan mampu menambah nilai perusahaan melalui penciptaan organizational knowledge (Kay, 1995: 68).
Dalam konteks hubungan industrial, praktek yang terjadi dalam industri tekstil Majalaya mendekati kecenderungan hubungan industrial pancasila. Hal ini disebabkan hubungan yang terjalin antara perusahaan dan karyawan bukan hanya hubungan buruh dan majikan, tetapi didasarkan pada hubungan kekeluargaan. Dalam hubungan bisnis, perusahaan tidak akan mau menerima calon tenaga kerja yang tidak terampil, tidak berpendidikan, tidak masuk kerja dengan alasan keperluan keluarga, dan lain-lainnya. Tetapi apa yang terjadi dalam industri tekstil Majalaya adalah, mereka masih mau menerima buruh yang tidak berpendidikan dan tidak terampil dengan alasan masih ada keterkaitan keluarga, tidak perlu mengajukan lamaran kerja dan bisa meninggalkan pekerjaan dengan alsan keluarga tanpa harus takut di PHK. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh seorang pengusaha, kemudahan yang diberikan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman yang mendalam tentang kondisi perusahaan. Karena itu, buruh tidak diperkenankan untuk mogok atau melakukan aksi yang dapat merugikan perusahaan, sebagai kompensasi dari hubungan kekeluargaan yang telah terjalin. Meskipun hubungan ini tidak terikat dalam bentuk kontrak kerja, namun biasanya kesepakatan tidak tertulis ini dipatuhi oleh kedua belah pihak.
Dalam hubungannya dengan suplayer maupun konsumen, perusahaan yang bergerak dalam industri tekstil Majalaya juga tidak membuat kontrak kerja yang memiliki kekuatan hukum. Hubungan pertemanan dan persaudaraan seringkali menjadi landasan dalam membangun kerja sama. Seperti halnya hubungan dengan suplayer, pengusaha mendapat keringanan pembayaran dalam waktu satu bulan, ini adalah kepercayaan. Demikian juga halnya dengan konsumen. Produk hasil industri tekstil Majalaya sebagian besar dipasarkan di Tanah Abang. Namun hal ini tidak berarti bahwa mereka dapat memasarkannya langsung tanpa perantara. Ada satu rantai distribusi yang harus dilalui dalam pemasaran produk tekstil, meskipun hal ini akan berdampak pada harga jual produk di tingkat eceran, namun hal ini harus dilakukan untuk menjaga hubungan baik dengan industri yang menjadi konsumen produk tekstil.
Sementara untuk memperkuat posisi bagaining dengan pihak eksternal dalam industri tekstil, pengusaha Majalaya membuat sebuah organisasi yang bernama Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya (PPTM). Organisasi ini diharapkan mampu menyuarakan kepentingan pengusaha dalam berhadapan dengan pemerintah dan pihak eksternal lainnya.
Untuk membangun reputasi, industri tekstil Majalaya berusaha untuk membuat produk yang berkualitas. Kualitas ini bisa dicapai dengan melakukan pengawasan terhadap mutu input, proses, dan output. Namun hal ini juga tidak berdiri sendiri. Tenaga kerja juga sangat menentukan kualitas produk yang dihasilkan. Oleh sebab itu, menyadari bahwa kualitas tenaga kerja mereka tidak terlalu bagus, mereka selalu memberikan pelatihan kepada tenaga kerja mereka agar memiliki keterampilan dalam proses produksi.
Bagian yang cukup sulit dalam implementasi perubahan pada industri tekstil Majalaya adalah mengubah kultur dan cara berpikir orang-orang yang terlibat dalam industri ini. Sebagaimana diketahui, untuk bisa bertahan dalam industri tekstil, perusahaan harus berjuang untuk mendapatkan buruh yang berpendidikan dan terampil. Namun pasar tenaga kerja Majalaya tidak memungkinkan untuk mendapatkan buruh sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan. Masalahnya adalah, pada saat perusahaan memutuskan untuk menerima buruh dengan kualitas yang rendah, secara psikologis perusahaan juga berharap agar buruh ikut berpartisipasi dalam perubahan dan keajuan yang diinginkan oleh perusahaan. Dalam beberapa kasus, buruh tidak memiliki sense of belonging seperti yang diharapkan manajemen. Akibatnya, sangat sulit bagi manajemen untuk melakukan berbagai perubahan karena terbentur dengan kondisi ketenagakerjaan.
Disisi lain, cara berpikir beberapa pihak yang terkait dengan industri tektil juga tidak mendukung kearah perubahan yang diinginkan. Pihak pemerintah Daerah sebagai pemegang otoritas di daerah seringkali mengeluarkan kebijakan yang justru mempersulit posisi industri. Salah satu kebijakan yang dikeluhkan adalah dikeluarkannya Perda tentang Tata Guna Lahan. Perda ini secara tegas menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki pabrik di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukan lahannya, harus merelokasi pabrik ke temapt yang telah di tentukan. Bagi pengusaha, hal ini sangat memberatkan karena pabrik itu sudah ada sebelum perda dibuat. Jika harus merelokasi,artinya dibutuhkan investasi baru untuk membangun pabrik.
Namun di sisi pengusaha, ada perubahan mindset berkaitan dengan kondisi industri tekstil Majalaya. Pengusaha yang tetap bertahan dalam gelombang badai persaingan, melihat perubahan organisasi perusahaan sebagai sesuatu hal yang realistis dan harus dilakukan. Buruknya kondisi yang mereka alami saat ini membuka wawasan mereka bahwa mereka harus terlibat aktif dalam perubahan. Partisipasi ini ditunjukkan dengan keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Dinas Perindustrian. Apa yang ingin mereka capai dengan perubahan tersebut adalah bahwa industri tekstil Majalaya harus berkembang dan tumbuh.
Untuk mengembangkan dan menumbuhkan industri tekstil, manajemen perusahaan ikut serta dalam program restrukturisasi mesin dan peralatan serta melakukan rasionalisasi karyawan sebagai salah satu trend dalam perubahan organisasi (Gibson, 2006 : 499). Berbagai hambatan dalam perubahan yang mereka rencanakan, diharapkan bisa ditangani oleh pemerintah melalui kebijakan yang lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya industri tekstil Majalaya.
Dengan memperhatikan gambaran diatas, ternyata implementasi perubahan yang dilakukan oleh industri tekstil Majalaya menghadapi masalah yang cukup kompleks. Kompleksitas ini bukan hanya disebabkan oleh factor internal organisasi tetapi juga bersumber dari factor eksternal. Dalam hal ini, kepemimpinan organisasi sangat dibutuhkan untuk mendobrak kebuntuan yang terjadi. Pada saat kebuntuan tersebut bersumber dari factor internal yang berada dibawah otoritasnya, pengusaha menggunakan power yang dimiliki untuk melakukan perubahan. Salah satunya adalah dengan melakukan restrukturisasi mesin yang berdampak pada proses produksi yang lebih baik. Kebuntuan dalam menghadapi pihak eksternal dilakukan pengusaha dengan membentuk persatuan pengusaha sehingga berbagai kepentingan industri mereka dapat terpenuhi.
Gibson (2006 : 496) mengatakan bahwa perubahan adalah penting dalam sejumlah area, yaitu :
1. Employee training
2. Compensation
3. Management style
Apa yang disarankan oleh Gibson di atas telah dilakukan oleh pengusaha yang tergabung dalam industri tekstil Majalaya. Input tenaga kerja yang tidak terampil dilatih secara formal maupun informal agar dapat mengerjakan tugasnya dengan lebih baik. Lemahnya daya saing perusahaan yang berdampak pada turunnya kemampuan perusahaan untuk memberikan kompensasi yang sesuai dengan aturan perundang-undangan, dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan, melalui komunikasi yang intensif dan personal, sehingga karyawan memahami kondisi perusahaan. Disamping itu, kepemimpinan perusahaan juga menggunakan gaya manajamen yang sesuai untuk mendukung perubahan yang diinginkan. Perampingan struktur dan penempatan pegawai yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan pekerjaan, membuat perusahaan berjalan dengan lebih efisien. Selain itu, keterlibatan pemilik dalam berbagai aktifitas perusahaan semakin menunjukkan bahwa pengusaha tekstil Majalaya berkomitmen untuk melakukan perubahan dalam organisasi perusahaan, baik melalui hard part changes maupun soft part changes.
Pelajaran yang bisa ditarik dari kasus ini adalah bahwa perubahan memerlukan agen. Agen yang paling tepat untuk memprakarsai perubahan adalah pemimpin. Dengan otoritas yang dimiliki dan kemampuan kepemimpinan yang dimiliki, pemimpin akan mampu merencanakan, melaksanakan dan mengawasi jalannya perubahan yang diinginkan. Namun demikian, perubahan memerlukan dukungan dari pihak internal dan eksternal organisasi. Dalam kasus perubahan yang terjadi dalam industri tekstil Majalaya, pihak eskternal yang paling berperan untuk membuka pintu perubahan adalah pihak pemerintah. Tanpa adanya regulasi yang jelas seperti yang terjadi saat ini, akan sangat sulit bagi industri untuk melakukan perubahan.

C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah diberikan pada bagian sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :
  1. Kondisi yang dialami oleh industri tekstil Majalaya sejak krisis tahun 1997-1998 mengharuskan mereka untuk melakukan berbagai perubahan dalam bisnis tekstil.
  2. Perubahan mendasar yang dilakukan untuk mengatasi lemahnya daya saing terhadap produk impor adalah dengan melakukan efisiensi dan peremajaan mesin produksi, disamping juga mengubah kultur dan cara berpikir pihak internal dalam organisasi.
  3. Implementasi manajemen perubahan yang terjadi dalam industri tekstil Majalaya bersifat sangat kompleks karena harus melibatkan pihak internal dan eksternal perusahaan.
  4. Pelajaran yang bisa di ambil dalam kasus ini adalah bahwa perubahan organisasi membutuhkan agen perubahan, dan yang paling tepat untuk menjadi agen perubahan adalah pemimpin.

D.Daftar Pustaka
  1. Gibson, James L, John M. Ivancevich, James H. Donnely, Jr, Robert Konopaske. 2006. Organizations: Behavior, Structure, Process. Twelfth Edition. New York: McGraw-Hill/Irwin
  2. Kay, John. 1995. Foundations of Corporate Success. New York : Oxford University Press
  3. Steiner, John F. 2009. Business, Government, and Society. New York. McGraw-Hill
  4. Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith, 2006. Economic Development. Ninth edition. London. Pearson Addison Wesley
  5. Akatiga. 2008. Penghapusan Kuota Industri Tektil dan Garmen Indonesia: Dimana Kita Berada?Akatiga. Bandung
  6. Dinas Perindustrian Jawa Barat. 2012. Data perusahaan TPT di Jawa Barat.
  7. Sari, Yulia. Sari, Yulia. 2007. Saatnya Pemerintah Buat Kebijakan Melindungi Industri TPT. Artikel. Yayasan Akatiga. Bandung
  8. www. bisnis-jabar.com edisi Selasa 31 Mei 2011
  9. www. bisnis-jabar.com. FOTO: Industri tekstil di Bandung terancam mati.23 Juni , 2011
  10. www. bisnis-jabar.com Impor Tekstil Ilegal dari China Masih Tinggi. 03 November 2011
  11. www. bisnis-jabar.com. Kinerja industri tekstil Jabar turun 1,82% pada triwulan IV/2011. 1 Februari , 2012
  12. www.kemenperind.go.id
  13. www. poloshirtpolos.com/artikel-konveksi-garment/sejarah-industri-tekstil-indonesia
  14. API Jawa Barat, Pebruari 2012
  15. Dinas Perindustrian Jawa Barat, Pebruari 2012
  16. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia

Minggu, 20 Juni 2010

Orang Minang

Budaya Merantau Orang Minang (1)

Quantcast

Kalaulah di Bulan Ada Kehidupan …

Oleh Gamawan Fauzi

Ada sebuah anekdot, bahwa ketika Neil Amstrong mendarat di Bulan bersama Apallo 11 38 tahun silam, ia sangat terkejut mendapati orang Minang sudah lebih duluan sampai di sana untuk membuka rumah makan Padang.

Orang Minang memang ada di mana-mana di berbagai pelosok Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Mereka terkenal karena memiliki budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku bangsa tertentu saja di Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau, etnis yang juga mempunyai budaya merantau adalah Bugis, Banjar, Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan Madura.

Budaya merantau orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad-abad silam. Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum orang-orang kulit putih datang ke sana. Bahkan, sebuah laporan pertengahan Abad ke-19 yang tersimpan dalam arsip di Perpustakaan Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The Minangkabau State in Malay Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya). Negeri itulah yang kemudian kita kenal sebagai Negeri Sembilan, salah satu Kerajaan yang mendirikan Negara Federasi Malaysia. Jadi, mereka sudah mendirikan sebuah negara di Semenanjung Malaya sebelum berdiri di barisan terdepan dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.

Tradisi merantau orang Minang terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. Ditambah kemampuan bersilat lidah (berkomunikasi) sebagai salah satu ciri khas mereka yang membuatnya mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana saja. Banyak hasil studi para sarjana asing maupun ilmuwan nasional menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah muncul dan berkembang sejak berabad-abad silam. Budaya yang unik ini sering dikaitkan dengan pantun yang berbunyi:

Karatau madang di hulu

Babuah babungo balun

Marantau Bujang dahulu

Di kampuang baguno balun

(Keratau madang di hulu

Berbuah berbunga belum

Merantau Bujang dahulu

Di kampung berguna belum)

Dalam konsep budaya Alam Minangkabau dikenal wilayah inti (darek) dan rantau (daerah luar). Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan. Namun perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan bukan dalam konteks politik. Berdasarkan konsep tersebut, merantau adalah untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat (pekerjaan/jabatan) (Navis, 1999)

Sebagai sebuah pola migrasi (perpindahan penduduk) secara sukarela, atas kemauan sendiri, maka merantau orang Minang berbeda dengan, katakanlah, merantau orang Jawa yang melalui proses transmigrasi –diprogramkan dan dibiayai pemerintah. Orang Minang merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah, untuk membangun kehidupan yang lebih baik (lihat Mochtar Naim, 1984).

Dalam alam pikiran orang Minangkabau –analog dengan dunia agraris– kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit tumbuh, mereka harus keluar dari persemaian ke lahan yang lebih luas agar menjadi pohon yang besar kemudian berbuah. Proses seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat pada tokoh-tokoh asal Minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, atau generasi yang lebih belakangan –lahir, tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di kampung, lalu pergi merantau dan “menjadi orang”.

Selalu Membaur, tak Pernah Konflik

Ke mana pun mereka merantau, di mana pun mereka berada, orang Minang memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungannya. Ini sesuai dengan ungkapan yang merupakan pedoman hidup mereka: di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Atau, di kandang kambing mengembek, di kandang kerbau mengo’ek.

Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana pun rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”. Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota-kota di mana perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman.

Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu, mereka pun diterima oleh masyarakat di mana mereka berada. Mereka diterima menjadi pemimpin formal maupun informal di rantaunya masing-masing. Sebutlah, misalnya, Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua (1946); Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955-1960), dan Muhammad Padang (1960-1965); Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama, Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (1964-1968); Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama dr. Adnan Kapau Gani; atau Djamin Dt. Bagindo yang menjadi gubernur pertama Provinsi Jambi (1956-1957).

Budaya merantaulah yang menyebabkan orang Minang tersebar dan mempunyai peranan di mana-mana, di berbagai kota dan pelosok di Indonesia dan di mancanegara. Kota manapun di Indonesia yang pernah saya kunjungi, semasa menjadi Bupati Solok dan setelah menjadi Gubernur Sumatera Barat, saya selalu bertemu dengan orang Minang. Tak kecuali mereka juga ada dalam jumlah cukup banyak di daerah remote seperti Irian Jaya (kini Papua), Nusatenggara, dan Timor Timur. Bahkan, dari berbagai cerita kita tahu, jauh sebelum Timor Timur berintegrasi dengan Republik Indonesia, yakni ketika Timor Timor masih merupakan bagian negara Portugal, orang Minang sudah membuka dan mengusahakan rumah makan di sana.

Meskipun belum ada angka statistik yang pasti, ditaksir jumlah orang (keturunan) Minang di perantauan lebih banyak ketimbang yang tinggal di Sumatera Barat, atau kira-kira 8 – 10 juta jiwa. Konon, di wilayah Jabotabek saja, dari setiap 10 orang yang kita temui, seorang di antaranya adalah orang Minang. Saya pernah diberi tahu tentang hasil survei sebuah lembaga pendidikan agama Islam di Jakarta yang menyebutkan bahwa sekitar 50 persen masjid di Jabotabek pengurusnya adalah orang Minang.

Diperkirakan 40 persen penduduk Provinsi Riau adalah perantau atau keturunan Minang atau orang yang berasal dari Sumatera Barat. Sebanyak 60 persen dari total penduduk Negeri Sembilan (Malaysia) mengaku berasal dari Minangkabau dan hingga kini tanpa ragu tetap menyatakan diri menganut “Adat Perpatih” atau adat Minangkabau (lihat Samad Idris, Payung Terkembang).

Hampir di semua provinsi di Sumatera dapat ditemukan orang Minang dalam jumlah yang banyak. Mereka juga hidup dan membaur dengan masyarakat di kota-kota bahkan pelosok di semua pulau besar di Indonesia –Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, Nusatenggara dan sebagainya. Dalam jumlah yang cukup banyak pula merantau sangat jauh hingga ke luar negeri, menyebar ke lima benua. Bahkan, kalaupun di Bulan ada kehidupan manusia, orang Minang mungkin saja sudah ada pula di sana.

Selaras dengan tujuan merantau –mencari harta, ilmu atau pangkat– dalam rangka mengembangkan diri dan mencari kehidupan yang lebih baik, maka orang Minang di perantauan berbagai profesi dan lapangan kehidupan. Kebanyakan memang menjadi pedagang, saudagar atau pengusaha. Namun banyak pula yang menjadi ilmuwan, mubaligh serta orang berpangkat sebagai pejabat pemerintah atau kaum professional (dokter, dosen, eksekutif BUMN atau perusahaan swasta, wartawan, sastrawan, dan lain-lain). ***

Demi Cintanya ke Kampung Halaman

Oleh Gamawan Fauzi

Meskipun orang Minang selalu membaur dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya di rantau, namun ada sesuatu hal yang unik dan selalu menjadi ciri khas mereka. Yakni kepedulian dan kecintaan kepada kampung halaman. Hal ini mungkin sesuatu yang umum saja, seperti ucapan ilmuwan besar dunia Albert Einstein yang dikutip oleh Mr. Sutan Muhammad Rasjid dalam bukunya Rasjid – 70:

On two things in life you cannot be objective: first, the love to your mother; secondly, the love to your country where you have been born” (Dalam dua hal Anda tak bisa objektif: pertama, cinta kepada ibumu; kedua, cinta kepada tanah kelahiranmu).

Dalam kedua hal itu, barangkali orang Minang jauh melebihi apa yang dipikirkan Einstein. Sebagai masyarakat penganut matrilial (keturunan menurut garis ibu), jelas mereka mempunyai rasa cinta yang sangat besar kepada ibu yang melahirkannya. Demikian pula dalam hal mencintai tanah kelahiran atau kampung halamannya, orang Minang pun sangat menonjol, tak obah mencintai ibunya sendiri. Bahkan, orang (keturunan) Minang yang lahir di rantau pun tetap mencintai dan peduli dengan negeri ini sebagaimana kita lihat pada diri mayoritas penduduk Negeri Sembilan di Malaysia yang tanpa ragu menyatakan bahwa mereka adalah penganut “Adat Perpatih” (adat Minang).

Kecintaan kepada kampung halaman mereka ditunjukkan, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, kepedulian yang tinggi kepada negeri asal dan adat-budayanya. Kedua, di mana tempat mereka berada, mereka membangun ikatan-ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan se-nagari asal, se-kabupaten, atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat.

Di rantau mereka tetap mempertahankan jati diri sebagai orang Minang yang menganut “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Mereka tetap setia memelihara budaya, adat istiadat, tradisi, dan kesenian daerah asal mereka. Bahkan sudah tradisi, hampir setiap tahun bersamaan dengan momentum Hari Raya Idul Fitri, mereka mengadakan halalbihalal dan mengundang gubernur, bupati atau walikota dari Sumatera Barat untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Ketika menghadiri kegiatan-kegiatan orang Minang di rantau itu, biasanya penyambutannya sangat meriah –ada tari pasambahan, siriah di carano, pertunjukan tari dan lagu-lagu Minang. Dan biasanya sangat ramai. Ini sejalan dengan ungkapan, sejmauh-jauh merantau, adat Minang tetap digungguang dibaok tabang.

Meskipun tinggal jauh di rantau, mereka sangat peduli dengan perkembangan dan selalu mengikuti setiap informasi dari kampung. Mereka juga selalu pula ‘gatal’ untuk menyampaikan aspirasi bahkan unek-unek bagi kemajuan daerahnya. Karena itulah, kalau Gubernur Sumatera Barat datang ke daerah di mana banyak perantau Minang, mereka akan selalu minta mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan seperti itu, yang dihadiri gubernur, terlihat sekali betapa setiap perantau sangat peduli kepada nagari asalnya, tak peduli apa kedudukan dan kelas sosialnya. Pejabat tinggi, pengusaha besar, ataupun orang tenama yang sudah berkelas internasional sekalipun, kalau bicara tentang nagari-nya selalu bersemangat bahkan berapi-api bicaranya.

Setinggi-tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Sejauh-jauh merantau, kampung halaman terbayang jua. Sehabat-hebatnya orang Minang di rantau, setinggi apapun jabatan dan kedudukannya, mereka tetap saja memerlukan pengakuan dan eksistensi di kampung halaman atau negeri asalnya.

Mereka yang umumnya punya status sosial tinggi, kaya dan berpangkat, sering tak bisa menahan diri untuk terlibat bahkan terkesan ‘intervensi’ sampai ke soal-soal politik dan pemerintahan di kampungnya. Misalnya, mereka merasa perlu ikut menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur Sumatera Barat, atau yang akan menjadi bupati, walikota, bahkan wali nagari di daerah asalnya. Memang unik. Mereka tidak ber-KTP Sumatera Barat, tetapi merasa bertanggung jawab untuk ikut mengambil keputusan soal politik dan pemerintahan hingga ke tingkat nagari dan jorong.

Bukan hanya itu. Mereka bahkan terjun langsung dari rantau untuk memimpin nagarinya. Semasa menjadi Bupati Solok, saya dua kali menerima delegasi perantau nagari yang datang memperkenalkan calon wali nagari yang mereka datangkan dari rantau untuk memimpin nagarinya. Kedua pemimpin “impor” itu ternyata memang terpilih sebagai wali nagari.

Di beberapa kabupaten, sejak Sumatera Barat kembali ke Nagari, banyak pula tokoh-tokoh rantau yang kemudian pulang kampung untuk bertarung dalam pemilihan Wali Nagari. Ada notaries terkenal, bekas pejabat BUMN, mantan pejabat pemerintahan, bahkan ada mantan walikota yang kemudian ikut pemilihan wali nagari dan terpilih. Dengan demikian ia tetap Pak Wali, dulu walikota sekarang wali nagari.

Forum SSM dan Peranan Orang Minang

Forum Silaturahim Saudagar Minang (SSM) yang sudah dua kali diadakan, adalah bentuk lain dari kepedulian perantau Minang kepada kampung halamannya. Forum seperti ini adalah penerusan tradisi yang sudah terbangun selama berabad-abad. Atas nama masyarakat dan pemerintah Sumatera Barat, saya menyambut dengan gembira adanya forum seperti ini, yang diharapkan akan memberikan sumbangan pula bagi kemajuan daerah dan masyarakat Sumatera Barat.

Meskipun yang bersilaturahmi adalah para saudagar Minang dari perantauan, namun kita tak pernah meragukan, kegiatan ini adalah perwujudan dari rasa cinta mereka kepada kampung halaman dan masyarakatnya. Karena itu, saya mengharapkan agar Silaturahmi Saudagar Minang yang kedua tanggal 10 – 12 Oktober 2008 ini dapat dioptimalkan dengan program dan kegiatan yang bermanfaat bagi kampung halaman dan nagari.

Sejarah bangsa Indonesia menorehkan tinta emas tentang peranan putra-putra Minangkabau dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini. Demikian pula pada awal masa pertumbuhan dan pembangunan setelah kemerdekaan, peranan mereka sangat menonjol di bidang politik, pemerintahan, dan juga di bidang sosial dan ekonomi.

Apa yang membuat orang Minang maju dan dan mempunyai peranan yang menonjol? Salah satunya adalah pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth E. Graves untuk disertasinya di Universitas Wisconsin, Amerika, yang telah diterbitkan sebagai buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Asal-usul Elite Minangkabau Modern (Yayasan Obor, 2007) menyebutkan, bahwa salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke-19 adalah karena mereka berhasil merespon dan memanfaatkan dengan tepat pendidikan Barat yang dikenalkan oleh Belanda di Minangkabau.

Jauh sebelum suku bangsa lain di Indonesia mengenal pendidikan, orang Minangkabau sudah mengembangkan pendidikan agama Islam, madrasah-madrasah melalui surau-surau yang ada. Setelah Belanda memperkenalkan pendidikan Barat sejak awal abad ke-19, orang Minangkabau pun meresponnya dengan tepat sehingga memberikan keuntungan untuk kemajuan suku bangsa ini. Mereka tidak hanya memasukkan anak-anaknya ke sekolah yang didirikan Belanda, tetapi juga membangun banyak sekali sekolah yang mengadopsi sekolah model Barat itu.

Pendidikan menghasilkan generasi orang Minang terpelajar dan mempunyai kemampuan. Sehingga, ketika Indonesia merdeka dan memerlukan tenaga terdidik yang profesional dan berkemampuan teknis untuk mengelola negeri yang baru merdeka ini, peranan orang Minang menjadi sangat menonjol (E. Graves, 2007). Itu bukan hanya di bidang pemerintahan, tapi juga di bidang sosial dan ekonomi.

Semangat egaliter dan budaya yang dinamis melahirkan daya saing yang tinggi dan wawasan yang luas. Dipadu dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang memadai, mereka tak pernah ragu untuk hidup di manapun di muka bumi ini. Keberanian orang Minang adalah keberanian untuk hidup (ini untuk membedakan dengan suku bangsa lain yang terkenal “berani mati”, orang Minang “berani hidup”)

Banyak saudagar Minang masa lalu, tumbuh karena budaya egaliter, semangat mandiri dan jiwa merdeka yang mereka miliki. Mereka memulai dari usaha kecil, katakanlah kaki lima, kemudian tumbuh berkat kemampuan entrepreneurship-nya yang tinggi menjadi saudagar kelas menengah dan bahkan besar.

Semangat dan jiwa merdeka ini pulalah yang menyebabkan orang Minang sukar diperintah, sehingga mereka sering dianggap kurang cocok untuk jenis pekerjaan tertentu. Misalnya di militer atau birokrasi yang sangat hirarkis sentries. Merekanya cocoknya jadi saudagar, pengusaha, diplomat, politisi, wartawan, sastrawan dan pekerjaan-pekerjaan tak terperintah lainnya. Termasuk di sini menjadi pedagang kaki lima sebagai bentuk pekerjaan orang merdeka.

Hanya saja, ada yang sedikit merisaukankan kita belakangan ini. Dari survei yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Barat tahun 2007, ternyata dari anak-anak muda kita tamatan perguruan tinggi yang ada di Sumatera Barat, sebanyak 71 persen menginginkan pekerjaan sebagai pegawai negeri.

Bukan lagi Apakah ini berarti telah terjadi pergeseran budaya, sikap egaliter, semangat mandiri dan jiwa merdeka anak Minang? Kalau memang demikian, perlu usaha bersama untuk memelihara dan merevitalisasi budaya serta spirit merantau orang Minang yang mempunyai banyak nilai baik dan positif itu.**

Sumber : http://ekopadang.wordpress.com/2008/10/10/budaya-merantau-orang-minang-2/